Senin, 12 Oktober 2015
Bahasa dari Guru Bahasa Kami
Kita tahu, pekerjaan makelar di terminal itu berteriak-teriak mengajak penumpang ke berbagai tempat, sementara ia sendiri tak beranjak dari tempatnya. Penumpang silih berganti menuju Surabaya, Jogja, Bali, atau Jakarta, dan ia masih di tempat semula.
Tapi pekerjaan seperti itu bukan hanya milik makelar, guru pun begitu. Setiap hari ia memberi motivasi, mengajarkan pengetahuan, mengenalkan kemajuan, agar kelak siswa lebih baik dan mulia derajatnya.
Dari tahun ke tahun siswa silih berganti keluar masuk sekolah. Pada siswa yang masuk, guru melakukan hal yang sama. Pada yang telah keluar, guru hanya dengar kabar bahwa Si A telah menjadi dokter, Si B jadi tentara, Si C jadi artis ibukota, Si D pengusaha besi tua, Si E beristri dua, Si F dan G kuliah di Yaman atau Australia. Dan guru... tetap di sekolah itu. Ya seperti lagu Umar Bakri yang sampean hafal itu.
Tapi jangan keliru, ini bukan keluh kesah, namun justru kebanggaan seorang guru. Sampeyan juga paham kan, makelar tak pernah meratapi hidupnya yang hanya di terminal meski para penumpang telah plesir dan berfoto-foto di berbagai kota dan daerah.
Kebanggaan sebagai guru bisa kucontohkan seperti ini:
Jumat kemarin, seorang alumni datang ke sekolah dengan wajah berseri-seri dan ceria. Ia menemuiku dan menghadiahiku sebuah film dokumenter hasil karyanya, film yang sesungguhnya merupakan tugas akhir yang harus diselesaikannya sebagai mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja.
Saat menontonnya, aku hampir tak percaya jika film ini karya siswaku. Secara gambar sangat istimewa, sekelas film-film dokumenter yang biasa kutonton di layar kaca, dan secara isi beberapa kali membuatku merinding karena merasa larut dan terwakili ceritanya.
Film berdurasi 33 menit 43 detik ini berjudul NENDES KOMBET, berkisah tentang kultur masyarakat Malang dengan bahasa walikannya, asal usulnya, dan perkembangannya hingga sekarang. Ada sejarawan, arkeolog, ahli bahasa, hingga tokoh-tokoh AREMA yang terlibat di dalamnya. Intinya, bahasa walikan Ngalam lahir pada masa perang kemerdekaan sebagai bahasa sandi perjuangan Arek Malang --yang kala itu pun telah menyebut diri sebagai AREMA-- untuk mengecoh mata-mata dan menolak tunduk pada lawan. Di dalamnya juga menunjukkan karakter dan identitas Genaro Ngalam yang berani dan tidak ingin didikte pada banyak hal. Yang tak kalah penting, film ini juga menegaskan bahwa AREMA bukan sekedar klub sepakbola. AREMA adalah identitas dan harga diri.
Nuwus, Sa'idah. Filmmu menjadi tombo atiku malam ini karena timku dan timmu gagal melaju lebih jauh.
Kutonton film ini sambil nendes kombet dan nodes oker.
Tulisan Bapak Guru Kami, Yusuf Muhamad Arif [https://www.facebook.com/mats.mamats]
Terimakasih Bapak Guru, Mungkin arti tiap kata bisa diseragamkan, tapi efek yang timbul darinya selalu personal. Bukti bahasa punya sunyinya sendiri.. Terimakasih Pak Arif, senang dan haru membaca tulisan Bapak.. Terimakasih Kami juga untuk Bapak Ibu Guru yang mengajarkan kami bahasa-bahasa. Kami jadi mengerti, bahwa fungsi bahasa adalah rumah bagi ingatan-ingatan yang ingin pulang. ((':
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar